Setiap pasangan suami isteri pasti mengharapkan hadirnya seorang atau beberapa orang anak sebagai buah hati perkawinan mereka.
Namun tidak jarang sebuah perkawinan tak kunjung mendapatkan sesosok anak yang diidam-idamkan selama perkawinan. Banyak faktor tentunya yang menyebabkan suatu pasangan suami isteri tidak kunjung mendapatkan turunan, misalnya gagal rahim, mandul, dan lain-lain.
Banyak pula pasangan perkawinan menempuh berbagai cara untuk mendapatkan anak. Misalnya; adopsi, inseminasi buatan, dan bayi tabung. Inseminasi buatan adalah konsepsi (pembuahan) terhadap sel telur oleh sperma hasil para donor yang disimpan di laboratorium.
Robert T Francoeur dalam bukunya berjudul:"Biomedical Ethics" mengungkapkan bahwa setiap tahun 30.000 s/d 40.000 bayi lahir di Amerika hasil inseminasi buatan. Di mana sel sperma yang ditabung itu tidak lagi jelas siapa pemiliknya (anonim).
Persoalan yang muncul dari hasil-hasil inseminasi ini antara lain: bagaimana hak anak untuk mengetahui ayahnya yang sesungguhnya, hak untuk mengetahui latarbelakang ayahnya, dan bagaimana hak sang donor untuk dirahasiakan identitasnya, termasuk terhadap anak yang dihasilkan dari pembuahan oleh sel sperma sang donor.
Persoalan lebih rumit lagi terjadi ketika sepasang remaja mengumumkan rencana perkawinan mereka. Namun dokter yang menginseminasi mereka mengetahui rencana perkawinan mereka, dan akhirnya mengumumkan bahwa 20 tahun lalu mereka berdua adalah hasil inseminasi dari donor yang sama. Sungguh kacau dan menyedihkan bukan? (Francoeur, 1977, hal. 207).
Menyikapi aktivitas inseminasi dan problema-problema yang muncul sebagaimana diuraikan di atas, nampak bahwa upaya manusia memang seringkali melangkahi kodratnya sehingga menimbulkan kekacauan.
Anak adalah buah hati kasih sayang dan cinta antara dua pasangan yang diikat oleh sebuah perkawinan yang sah menurut hukum Tuhan maupun hukum manusia.
Dikaji dari sudut iman Kristiani, apa bedanya inseminasi buatan dengan punya lelaki simpanan? Apa bedanya inseminasi buatan dengan zina? Sebab, sungguh ironis kalau sampai ada pasangan suami-isteri yang kawin secara sah menurut ajaran Tuhan, tapi anaknya berasal dari lelaki lain (sel sperma yang ditabung di laboratorium). Dan sungguh suatu kebohongan besar apabila pasangan suami istri itu menyembunyikannya hingga si anak besar dan bahkan selamanya tidak diberitahu bahwa ia adalah hasil inseminasi. Sungguh tak terbayangkan apa yang terjadi pada diri si anak kalau suatu waktu ia tahu bahwa ayah aslinya adalah orang lain. Bisa sangat menyedihkan. Dilematis bukan?. Memang kehidupan tanpa otoritas pasti mengarah pada kekacauan.
Oleh karena itu, biarlah kita taat pada otoritas tertinggi, yaitu Firman Tuhan, khususnya mengenai perkawinan, bukan sekedar memenuhi keinginan kita sebagai manusia. Karena Allah tentu punya rencana yang indah atas setiap perkawinan yang berkenan di hadapanNya.